1. Norma
a. Pengertian Norma
Norma adalah petunjuk hidup yang merupakan pedoman, patokan, atau
ukuran untuk berperilaku yang pantas dalam pergaulan hidup bersama masyarakat.[1] Pada
dasarnya norma merupakan perwujudan secara kongkrit dari nilai-nilai[2]
yang terdapat dalam masyarakat. Nilai-nilai
tersebut pada awalnya bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan,
dimengerti dan dihayati oleh manusia. Disamping itu nilai juga berkaitan dengan
harapan, cita-cita, keinginan dan segala sesuatu melalui pertimbangan internal
(batiniah) manusia. Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun
sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta
diformulasikan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk
menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit
dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma.[3]
Dalam pendapat lain norma atau kaidah (bahasa arab) diartikan
sebagai suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya
dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya.[4]
Sedangkan dalam bukunya “Perihal Kaidah Hukum” Soerjono dan Purnadi Purbacaraka
mengemukakan bahwa, kaidah adalah patokan atau ukuran ataupun pedoman untuk
berperilaku atau bersikap tindak dalam hidup. Apabila ditinjau dari bentuk
hakekatnya, maka kaedah merupakan perumusan suatu pandangan (“ooerdeel”) mengenai perikelakuan atau sikap tindak.[5]
Hingga saat ini, pengertian kaidah maupun norma digunakan secara bersamaan oleh para sarjana Indonesia.
b. Macam-macam Norma
Ada empat macam norma yang mengatur pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat yaitu norma agama, kesusilaan, kesopanan, dan hukum. Kaidah (norma)
sifatnya abstrak, tidak dapat ditangkap dengan pancaindera. Peraturan hukum
tertulis dalam perundang-undangan adalah pembadanan (manifestasi) dari kaidah
(norma) itu. Kaidah juga dimanifestasikan dalam bentuk rambu-rambu,
simbol-simbol dan lain sebagainya.[6] Dari empat macam norma tersebut norma hukum merupakan
yang paling kuat keberlakuannya, sebab dapat dipaksakan melalui suatu kekuasaan
eksternal misalnya penguasa atau penegak hukum.
2. Hukum dan Norma Hukum
a.
Pengertian
Hukum
Hukum yang berlaku di dalam masyarakat, bangsa, dan negara
secara konsisten atau taat asas mencerminkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi
serta berlaku dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian,
hukum yang baik ataupun ideal merupakan aktualisasi nilai-nilai yang hidup di dalam
masyarakat guna mengatur kehidupan dalam mengupayakan tujuan hidup
bermasyarakat itu (Soejadi, 1998:17). Istilah “hukum” hingga kini masih merupakan
bahan perdebatan di kalangan para ahli hukum. Walaupun belum ditemukan definisi
yang memuaskan semua pihak, namun sebagai bahan acuan perlu diberikan rumusan
atau definisi tentang “hukum” tersebut (Sudikno Mertokusumo, 1985: 37): “Hukum
adalah rangkaian kaidah, peraturan-peraturan, tata aturan, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis, yang menentukan atau mengatur hubungan-hubungan
dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi”. Selanjutnya Sudikno Mertokusumo mengemukakan, hukum sebagai kumpulan
peraturan atau kaidah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. Hukum
bersifat umum karena berlaku bagi setiap orang, kepada siapa saja tanpa
kecuali. Hukum bersifat normatif karena menentukan apa yang seharusnya dilakukan,
apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya
melaksanakan kepatuhan pada kaidah-kaidah hukum yang berlaku.[7]
b. Hukum sebagai suatu kaidah (Norma Hukum)
Hukum merupakan kaidah yang memberikan berbagai macam
petunjuk hidup yang menentukan sikap anggota masyarakat satu dengan anggota
masyarakat yang lainnya. Kaidah ini merupakan hal yang wajib dan harus ditaati.
Oleh sebab itu hukum sebagai suatu norma dilengkapi sebagai dengan unsur
memaksa (dwangelement). Jadi hukum merupakan petunjuk hidup yang memiliki sifat
memaksa.[8] Norma hukum ditujukan kepada sifat lahir manusia. Ia tidak
mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk.[9]
3. Statika dan Dinamika
Sistem Norma
Dalam kehidupan masyarakat, selalau terdapat berbagai macam
norma yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tatacara seseorang
untuk berperilaku atau bertindak. Dalam bukunnya yang berjudul Genaral teori
of law And State Hans Kelsen mengutarakan adanya dua yaitu sistem
norma, yaitu sistem norma yang statik (nomostatik) dan sistem norrma dinamik
(nomodinamik).
Sistem norma statik (Nomostatics) adalah sistem norma yang melihat pada isinnya, menurut sistem
norma statik sendiri suatu norma umum dapat di tarik menjadi norma khusus dan
norma khusus sendiri dapat di tarik dari suatu norma yang umum. Penarikan norma
khusus dari suatu norma umum dapat di artikan bahwa, dari norma umum itu
dirinci menjadi norma yang khusus dari segi isinnya.
Contoh :
-
Dari norma umum yang menyatakan ‘Hendaknya engkau menghormati
orang tua’ dapat di tarik/dirinci menjadi norma-norma khusus seperti
kewajiban membantu orang tua kalau ia dalam kesusaahan, atau kewajiban
merawatnya kalau orang tua itu sedang sakit, dan sebagainya.
-
Dari suatu norma umum yang menyatakan ‘Hendaknya kammu
menjalankan perintah agama’ dapat di tarik/dirinci mejadi norma-norma
khusus seperi menjalankan sholat lima waktu, menjalankan puasa pada waktunya,
membayar zakat, dan lain sebagainya.
Sedangkan Sistem norma yang dinamik (Nomodynamics) adalah
sistem norma yang pada berlakunnya suatu norma dan cara ‘pembentukannnya atau
penghapusannya’. Menurut Hans Kelsen norma itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma norma yang di bawah berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi , demikian
seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma yang
tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat
di telusuri lagi siapa pembentuknya atau dari mana asalnya. Dan norma ini adalah
norma yang tertinngi yang tidak bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi lagi. Tetapi berlakunnya secara ‘presuposed‘ yaitu di tetapkan
lebih dahulu oleh mayarakat.
a. Hukum Sebagai
Sistem Norma yang Dinamik
Menurut Hans Kelsen hukum merupakan sistem norma yang dinamik (Nomodynamics)
dikarenakan hukum itu di bentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga yang berwenang
membentuk dan menghapusnya, sehinga dalam hal ini hukum tidak dilihat dari segi
isi dari norma tersebut, melainkan dilihat dari segi pembuatan dan berlakunnya.
Hukum itu adalah sah (valid) jika di bentuk oleh lembaga-lembaga
atau otoritas-otoritas yang berwenang serta bersumber dan berdasar pad norma
yang lebih tinggi, sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior)
dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior) dan hukum itu
berjenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu hierarkhi.
b. Dinamika Norma Hukum Horizontal dan Vertikal
Dalam dinamikannya norma
hukum dibagi menjadi dua yaitu norma hukum vertikal dan horizontal.
Dinamika norma hukum vertikal adalah
dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah, dalam dinamika norma hukum
vertikal ini suatu norma hukum itu berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
hukum yang di atasnya, sampai seterusnya sampai pada suatu norma hukum yang menjadi
dasar dari semua norma hukum yang berada di bawahnya. Demikian juga dalam hal
dinamika dari atas ke bawah, maka norma
dasar itu selalu menjadi sumber dan menjadi dasar dari normaa hukum yang ada di
bawahnya, norma hukum yang di bawahnya selalu menjadi sumber dan dasar dari
norma hukum yang ada di bawahnya lagi, dan seterusnya ke bawah.
Dinamika norma hukum yang horizontal adalah dinamika yang bergeraknya tidak ke atas atau
ke bawah, tetapi ke samping. Dinamika norma hukum horizontal ini tidak
membentuk suatu norma hukum yang baru, tetapi norma itu bergerak ke samping karena
adanya suatu analogi yaitu penarikan suatu norma hukum untuk kejadian-kejadian
lainnya yang dianggap serupa. Penarikan secara analogi dapat di beri contoh
sebagai berikut:
Dalam kasus tentang ‘perkosaan’ seorang hakim telah
mengadakan suatu penarikan secara analogi dari ketentuan tentang ‘perusakan
barang’ sehingga terhadap suatu ‘perkosaaan’ selain dikenakan sanksi
pidana dapat juga diberikan sanksi pembayaran ganti rugi.
4. Norma Hukum dalam
Peraturan Perundang-Undangan
Menurut
D.W.P Ruiter, dalam kepustakaan di Eropa Kontinental, yang dimaksud peraturan
perundang-undangan atau wet in materielle zin mengandung tiga unsur,
yaitu:
a. Norma Hukum (Rechtsnorm)
b. Berlaku keluar (Naar buiten Werken);
c. Bersifat umum dalam arti luas (Algemeenheid in
ruime zin)
Ketiga unsur norma tersebut dapat diuraikan lebih lanjut sebagai
berikut:
a. Norma Hukum
Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat
berupa:
1. Perintah (gebod)
2. Larangan (Verbod);
3. Pengizinan (Toestemming);dan
4. Pembebasan (Virjkstelling)
b. Norma Berlaku keluar
Riuter berpendapat bahwa, di dalam peraturan perungang-undangan
terdapat tradisi yang hendak membatasi berlakunya norma hanya bagi mereka yang
tidak termasuk dalam organisasi pemerintahan. Norma hanya ditujukan kepada
rakyat baik dalam hubungan antar sesamanya, maupun antara rakyat dan
pemerintah. Norma yang mengatur hubungan antar bagian-bagian organisasai
pemerintahan dianggap bukan norma yang sebenarnya, dan hanya dianggap norma
organisasi. Oleh karena itu norma hukum dalam peraturan perundang-undangan
selalu disebut ‘berlaku keluar’.
c. Norma bersifat umum dalam arti luas
Dalam hal ini terdapat perbedaan antara norma yang umum (algemeen)
dan yang individual (individuel), hal ini dilihat dari addresat
(alamat) yang dituju, yaitu ditujukan kepada ‘setiap orang’ atau kepada ‘orang
tertentu’, serta antara norma yang abstrak (abstract) dan yang kongkrit (concreet)
jika dilihat dari hal yang diaturnya, apakah mengatur peristiwa-peristiwa
yang tidak tertentu atau mengatur peristiwa-peristiwa yang tertentu.
5. Jenis dan Hierarki
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Berdasarkan
pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
terdiri atas:
1.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.
Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.
Peraturan
Pemerintah;
5.
Peraturan
Presiden;
6.
Peraturan
Daerah Provinsi; dan
7.
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
Selain
jenis Peraturan Perundang-undangan sebagaimana di atas juga terdapat Peraturan
Perundang-undangan lain meliputi: peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial,
Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang
dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana di atas diakui keberadaannya dan mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.[10]
Daftar Referensi
Soejadi, Pancasila Sebagai Sumber Tertib Hukum Indonesia
(Analisis Filsafati). Disertasi, Universitas Gadjah Mada, 1998
Sudikno Mertokusumo, 1984. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Liberty.
_______, 2006. Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar). Yogyakarta: Liberty, Edisi
Kedua (Cetakan Kedua).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar